Masyarakat Bali sudah lama dikenal dengan kemampuannya mengelola air. Sistem yang sempat rusak karena “revolusi hijau” itu kini telah kembali.
Selama ratusan tahun para petani di Bali telah menerapkan sistem pengelolaan air yang mengatur penggunaan air dari hulu ke hilir. Sistem bernama subak ini melibatkan kelompok petani yang saling bermusyarah ketika musim tanam tiba untuk mengatur irigasi sesuai dengan keperluan mereka.
Komunitas petani di hulu dan hilir saling terhubung oleh fasilitas irigasi ini. Dengan mengatur kebutuhan air di hulu dan hilir para petani tidak hanya bisa menyuburkan tanaman namun juga bisa menjaga habitat alami yang bisa berfungsi mengontrol hama.
Dalam sistem ini, prioritas penggunaan air di lahan pertanian hanya akan dimaksimalkan pada waktu-waktu yang produktif. Anggota kelompok masyarakat saling bermusyawarah untuk mengelola dan mengaturnya.
Melalui sistem ini lahan pertanian bisa dikelola sehingga bisa menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan dengan masa panen yang bisa diprediksi dan mampu menganggulangi masalah hama terutama hama tikus.
Namun menurut laporan Program Lingkungan PBB, sistem ini sempat rusak pada tahun 1970-an saat Bank Pembangunan Asia (ADB) menerapkan program peningkatan hasil panen yang menjadi bagian dari “Revolusi Hijau”.
“Revolusi Hijau” pada masa itu bertolak belakang dengan gerakan hijau saat ini yang kembali ke alam. “Revolusi Hijau” pada 1970-an hanya menekankan pada produktifitas tanpa memertimbangkan keberlangsungan ekosistem.
Para petani berhenti berkoordinasi dalam mengatur sistem irigasi hulu dan hilir dan menerapkan rekomendasi ADB yang memerkenalkan jadwal irigasi baru dan meningkatkan penggunaan pestisida.
Selama beberapa tahun hasil panen di Bali meningkat, namun peningkatan hasil panen ini hanya berlangsung sementara. Bencana terjadi, hama merajalela, hasil panen pun anjlok. Para petani akhirnya kembali menerapkan sistem pengelolaan air tradisional dan ekosistem berbasis pertanian mereka sehingga hasil panen petani kembali stabil. [KJPL]