Bogor – Institut Pertanian Bogor (IPB) meresmikan Pusat Pengelolaan Risiko dan Peluang Iklim Kawasan Asia Pasifik (CCROM SEAP), untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai perubahan iklim, risiko, dan peluangnya.
CCROM SEAP diresmikan oleh Rektor IPB Dr Ir Herry Suhardiyanto di Bogor, bersamaan dengan digelarnya lokakarya mengenai metodologi skema pengurangan emisi dari penggundulan dan pengrusakkan hutan (REDD) bekerja sama dengan Pusat Studi Kehutanan Internasional (CIFOR).
Direktur CCROM Prof Dr Rizaldi Boer mengatakan, pusat kajian yang terbentuk pada April 2009 ini mempunyai misi membantu masyarakat untuk memahami perubahan iklim serta dampaknya bagi manusia.
“Kegiatan yang dilakukan tidak hanya di bidang pertanian, tetapi juga sektor-sektor lain yang terpengaruh oleh perubahan iklim seperti kehutanan, perikanan, kelautan, kesehatan,” katanya.
Dalam mengembangkan pusat kajian ini, katanya, IPB memperoleh banyak dukungan diantaranya dari Columbia University AS dan CIFOR.
“Hasil kajian dari kami akan direkomendasikan kepada Dewan Nasional Perubahan Iklim sebagai bahan untuk negosiasi terkait perubahan iklim. Diharapkan nantinya CCROM ini tidak hanya memainkan perannya di Indonesia tetapi juga di kawasan Asia Tenggara,” ujarnya.
Lokakarya yang digelar pada 26-27 Agustus tersebut bertujuan untuk mendiskusikan metodologi dan pendekatan dalam menentukan emisi referensi REDD, untuk mengukur keberhasilan Indonesia menekan emisi gas rumah kaca.
Dalam pertemuan negara penandatangan konvensi perubahan iklim (UNFCCC) telah disepakati bahwa keberhasilan dalam menekan emisi dari kegiatan tersebut bisa mendapatkan kompensasi baik dalam bentuk pendanaan, alih teknologi, maupun pembangunan kapasitas.
Rizaldi mengatakan, sampai saat ini belum ada metodologi yang disepakati untuk menentukan referensi tersebut.
“Ada beberapa cara untuk menentukan emisi referensi, diantaranya dengan menggunakan laju emisi historis, model pendugaan kemungkinan risiko hutan dikonversi ke depan, memperkirakan perubahan faktor penyebab deforestasi, atau dengan cara melakukan penyesuaian emisi referensi setiap periode waktu tertentu dengan mempertimbangkan perubahan kondisi yang ada,” katanya.
Herry Suhardiyanto mengatakan, apabila emisi referensi yang digunakan adalah rata-rata emisi historis dari tahun 2000-2005, maka apabila Indonesia mampu menurunkan tingkat emisi sampai setengah dari referensi tersebut, dengan harga karbon sekitar 10 dolar AS per ton CO2, Indonesia bisa memperoleh kompensasi sekitar 3,3 miliar dolar AS per tahun.
Sementara itu, Direktur Jenderal CIFOR Frances Seymour menyambut baik diresmikannya CCROM dan menekankan pentingnya peningkatan kapasitas penelitian di bidang kehutanan dan perubahan iklim.
“CIFOR secara berkelanjutan terus bekerja sama dengan IPB,” kata Seymour.
Kerja sama terkait perubahan iklim difokuskan pada tiga hal yaitu metode manajemen serta pemantauan REDD, implementasi REDD dengan melibatkan masyarakat lokal sehingga mereka bisa mengambil keuntungan, serta kebijakan yang mendukung, katanya.
Lokakarya tersebut diikuti oleh berbagai pihak baik swasta, LSM, maupun tokoh masyarakat dan pemerintah daerah untuk berbagi pengalaman dan pandangan bagaimana melibatkan masyarakat mulai dari tahap persiapan sampai pelaksanaan kegiatan demonstrasi REDD dan kemampuan yang perlu dibangun agar mampu melaksanakan REDD secara efektif. (KJPL)