Rafendi Djamin Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) mengatakan, kasus Lapindo membutuhkan advokasi internasional misalnya dengan memberikan kesadaran mengenai kasus tersebut kepada berbagai pihak di luar negeri.
“Harus dibangun argumen bahwa ada sebuah kasus yang harus diperhatikan baik oleh sejumlah negara bersahabat atau para pelapor khusus PBB,” kata Rafendi dalam acara diskusi peluncuran buku “Tambang dan Pelanggaran HAM: Kasus Pertambangan di Indonesia 2004 – 2005” di Jakarta, Senin (28/10/2008).
Ia mengemukakan advokasi dan lobi di tingkat internasional pada masa lalu berhasil dalam mengubah sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional Freeport di Papua.
Mengenai pengajuan kasus Lapindo hingga ke Mahkamah Internasional, ia mengaku skeptis akan gagasan tersebut karena terbatasnya yurisdiksi pidana HAM internasional yang hanya terkait dengan sejumlah hal seperti genosida dan kejahatan perang.
Rafendi juga menuturkan, penegakan HAM dalam berbagai kasus pertambangan tidak hanya harus menjadi perhatian Komnas HAM tetapi juga membutuhkan kerjasama yang sangat erat dengan berbagai pihak penegak hukum lainnya.
Selain itu, ia menginginkan agar terdapat revisi terhadap berbagai pasal “karet” di dalam KUHP yang bisa digunakan pihak perusahaan pertambangan untuk melegalisasi kegiatan mengeksploitasi sumber daya alam di Tanah Air.
Rafendi juga mengutarakan harapannya agar penegakan yang dilakukan para penegak hukum tidak selalu bersifat positivistik atau harus selalu sesuai dengan yang tercantum dalam perundangan, tetapi mereka juga mesti memperhatikan nilai HAM yang terkandung di dalamnya. [KJPL]